![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Prosedur Berperkara | Layanan Informasi | Jadwal Sidang | SIPP | APM |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
SIWAS MA RI | e - Court | Sukamas | Pelita | Validasi Akta Cerai |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
siMUPLI | Pojok | Kotak Kemajuan | SIGOA-SKM | SIYANTIS |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Cuti Tahunan | Izin Keluar Kantor | Apl Gugatan Mandiri | SURTI - SURVEI BADILAG |
Sistem negara berdiri bersamaan dengan berdirinya negara tersebut.[1] Demi membangun suatu sistem negara yang teratur, maka diperlukan hukum yang mencakup aturan-aturan hidup dan keseluruhannya berkaitan dengan satu sama lain.[2] Berdasarkan hal tersebut maka sistem negara berkaitan erat dengan sistem hukum. Di dunia sistem hukum terbagi menjadi dua yaitu sistem hukum eropa continental (civil law system) dan sistem hukum anglo saxon (common law system). Lantas apakah terdapat perbedaan peran hakim dalam civil law system dan common law system?
Pada civil law system mengutamakan kodifikasi. Hukum mempunyai kekuatan yang mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan tertulis berbentuk undang-undang dan peraturan tersebut disusun sistematis di dalam kodifikasi.[3] Menurut R. Soeroso kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang undang dalam materi yang sama.[4] Sistem hukum ini mendapat banyak pengaruh dari Roman Law System.[5] Pada sistem hukum ini hakim tidak mempunyai kekuasaan yang luas untuk menciptakan hukum. Hal ini dikarenakan dalam memutus suatu perkara, fungsi utama hakim hanya untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan sesuai dengan batas-batas wewenangnya. Situasi tersebut menyebabkan hakim hanya mengikat terhadap para pihak yang berpekara saja (doktris Res Ajudicata).[6] Namun hakim dapat melakukan intepretasi terhadap suatu hukum tertulis sehingga mampu menciptakan hukum baru.[7] Hakim pada civil law system identik dengan apa yang John Henry Merryman jelaskan: “The judge becomes a kind of expert clerk. He is presented with a fact situation to which a ready legislative response will be readily found in all except the extraordinary case. His function merely to find the right legislative provision, couple it with the fact situation, and bless the solution that is more or less automatically produced from the union”.[8] Indonesia sendiri menganut civil law system. Hal ini terlihat dari adanya kodifikasi hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Berbeda dengan Common Law system yang mengutamakan yurisprudensi, atau putusan pengadilan yang preseden.[9] Dalam sistem hukum ini peranan hakim sangatlah luas karena hakim punya wewenang untuk menciptakan hukum baru.[10] Pengadilan menjalankan fungsi kontrol bagi cabang kekuasaan lain baik eksekutif maupun legislative. Beberapa peraturan yang dikeluarkan eksekutif dan legislative dapat diuji dan dinyatakan tidak berlaku oleh pengadilan.[11] Sistem hukum ini menganut doktrin yang dikenal dengan nama ”the doctrine of precedent / Stare Decisis”. Doktrin ini pada intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden).[12]
[1] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 5.
[2] SF, Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII
Press, 2001), hlm.21
[3] Nandang Albian, Pengaruh Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Sistem Hukum Islam terhadap Pembangunan SIstem Hukum Nasional, Jurnal Ahwal Al-Syakhsiyyah, Vol. 04 Edisi 01, 2019, hlm. 74.
[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 77
[5] Erick Christian Fabrian Siagan, Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya Di Indonesia, Jurnal Lex Specialis, Vol 1. No. 1, 2021, hlm 44.
[6] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Indhillco, 1997), hlm 73.
[7] Hlm. 220
[8] John Henry Merryman, On The Convergence (And Divergence) Of The Civil Law And The Common Law”, Stan. J. Int’l., Vo. 17, 1981, hlm. 357.
[9] John Gilessen Dan Frits Gorle, Sejarah Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm 348.
[10] Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum Dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs Vol.11 No.1 (Januari-Juni 2015), hlm 41.
[11] Robert Kagan, Adversarial Legalism: The American Way of Life, Harvard University Press, 2001, hlm. 3.
[12] Fajar Nurhardianto, Loc. Cit.
Bismillahirramanirrahim
Korupsi adalah tindakan yang mengambil sesuatu yang bukan hak milik pribadi. Mengambil hak orang lain merupakan perbuatan tercela dan Haram hukumnya dalam islam. Hal ini sesuai dengan hadits ketika berhaji wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan saudara kalian itu haram bagi kalian.” (HR. Bukhari no. 1739 dan Muslim no. 1679).[1]
Dalam peradilan, pelaku yang melakukan tindakan korupsi akan dikenai hukum pidana, terdapat pada undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[2]
Pada UU tersebut sudah jelas bahwa setiap orang yang mencari keuntungan/ memperkaya diri baik secara melawan hukum maupun menyalahgunakan wewenang, menggunakan sarana, jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara adalah tindak pidana.
Memperoleh harta dari jalan yang haram dalam hukum islam seperti Riba dan merampas hak orang lain, kecuali dengan jalan yang baik seperti perniagaan sesuai syari’at Islam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Subhana Wa Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)[3]
Semua yang kita dapat peroleh di dunia akan dipertanggungjawabkan, bagaimana cara mendapatkan dan untuk apa kita pergunakan. Manusia tidak akan lepas dari pengawasan Allah Azza wa Jalla. Kita mungkin berpikir bahwa perbuatan mengambil hak orang lain ketika tidak ada orang lain yang mengetahui semua akan baik-baik saja. Namun hukum Allah benar adanya pada hari pembalasan.
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah: 18)[4]
Harta yang haram tidaklah mendapatkan keberkahan dan justru mendapatkan azab Allah Subhana Wa Ta’ala. Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)[5]
Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mementingkan hasilnya, namun tidak peduli dengan halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).[6]
Mengambil hak orang lain merupakan sebuah bentuk Kedzaliman. Adapun dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قال الله تبارك وتعالى: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR. Muslim no. 2577).[7]
Menghindari diri dari yang harta yang haram, membuat jiwa lebih tenang dan hidup lebih berkah. Selain itu hal terpenting lainnya adalah Keridhoan Allah Azza wa Jalla. Semoga kita semua dapat berlaku jujur meski banyak kesempatan melakukan tindakan korupsi yang ada dihadapan kita.
[1] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, "Merampas Harta Orang Lain”, Rumaysho, April 2, 2014 https://rumaysho.com/7108-kaedah-fikih-15-merampas-harta-orang-lain.html/ Diakses 20 Desember 2022
[2] UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[3] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Op. Cit
[4] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Syarhus sunnah: Hisab dan Timbangan Pada Hari Kiamat”, Rumaysho, October 15, 2019, https://rumaysho.com/22090-syarhus-sunnah-hisab-dan-timbangan-pada-hari-kiamat.html/ Diakses 20 Desember 2022
[5] Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, “Tujuh Dampak Harta Haram” Rumaysho, November 16, 2019, https://rumaysho.com/22549-tujuh-dampak-harta-haram.html/ Diakses 20 Desember 2022
[6] Ibid
[7]Yulian Purnama S.Kom, “Janganlah Berbuat Zalim”, Muslim.or.id, October 6, 2021 https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html/ Diakses 20 Desember 2022